HIDANGAN LANGIT

Selamat atas kunjungan anda di situs kami

Sabtu, 27 Desember 2008

Runtuhnya Ekonomi AS dan Kebangkitan Islam

Akhir-akhir ini media massa mengupas tuntas krisis ekonomi dunia yang cukup membuat panik segelintir kalangan yang berkepentingan. Namun, kita sebagai masyarakat awam sebenarnya ga ngerti betul akan latar belakang krisis ini dan dampaknya.

Maka dari itu, sebagai media massa 3Ipa9, di edisi kali ini Lazuardi hendak mengupas sedikit saja mengenai krisis ekonomi AS dan sengaja kami kaitkan dengan Kebangkitan Islam karena kami anggap kaitannya memang tak terkira sangat besar sekali.

Sesuai dengan hukum ekonomi kapitalis, telah menjadi sebuah keharusan bagi sebuah perusahaan untuk memperoleh keuntungan yang sebanyak-banyaknya.

Para pemilik perusahaan (yang punya saham) biasanya tidak mau tahu bagaimana perusahaan tersebut dijalankan, prinsip mereka yang penting harga saham naik dan laba perusahaan pun naik setiap tahunnya, tidak peduli bagaimanapun caranya.

Maka, semua perusahaan dipaksa untuk terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan baru. Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang lain. Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk membuat berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat jalan.

Pemilik perusahaan diuntungkan, pelaksana perusahaan diuntungkan, politisi pun diuntungkan.

Nah, AS adalah negeri yang makmur akibat ekonomi kapitalisnya. Penduduk AS adalah masyarakat yang mapan dan mampu memenuhi kebutuhan hidup, bahkan cenderung boros dan doyan membeli apa saja yang sedang tren di pasar.

Salah satunya, yang selalu tren di pasaran, adalah jual-beli rumah. Awalnya pemerintah AS mematok pajak yang tinggi bagi Bumi dan Bangunan agar penduduk tidak memiliki rumah lebih dari satu.

Namun sejak tahun 80an, pemerintah AS yang mulai kong-kalikong dengan perusahaan-perusahaan swasta, menetapkan aturan baru yaitu penurunan pajak rumah dan kebebasan bagi pihak swasta untuk menentukan bunga bagi kredit rumah.

Akibatnya, penduduk AS pun makin doyan beli rumah, walau miskin, walau sudah punya banyak rumah, pokoknya beli lagi tak peduli meski ‘nyicil’. Dengan adanya fasilitas keringanan pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya..

Adalah perusahaan Investing Bank (seperti Lehman Brothers) yang memberi kredit yang ringan bagi pembeli rumah. Investing Bank ini sering ‘nakal’ dengan memberi penawaran kredit rumah kepada orang-orang bergaji pas-pasan.

Orang-orang ini biasanya berpikir pendek, yang penting mulai menyicil rumah mumpung murah, jika suatu saat tidak mampu bayar lagi, rumah akan disita. Perkara selesai.

Ternyata 10 tahun berlalu hal itu benar-benar terjadi. Banyak pembeli rumah yang tidak mampu lagi menyicil rumah sehingga rumah pun disita. Rumah yang disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti nilai penyitaan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman awal. Itu berarti kian banyak yang gagal bayar.

Investing bank pun merugi besar. Apalagi investing bank meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan apa pun yang dapat menghasilkan keuntungan.

Dengan demikian, bangkrutnya Lehman Brothers, sebuah peerusahaan Investing Bank, otomatis membuat perusahaan lain yang berhubungan dengannya bangkrut pula, dan begitulah seterusnya sehingga hal ini mengakibatkan krisis global.

Negara-negara berkembang yang menjadi tempat beroperasinya Investing Bank tersebut otomatis ikut mengalami krisis, tidak terkecuali Indonesia.

Ciri Kebangkitan Islamkah?

Pemerintah dan para pemilik modal di Indonesia cukup khawatir krisis ini menyamai krisis tahun 1998. Rakat kalangan bawah pun terkena dampak inflasi naiknya harga-harga dan PHK besar-besaran dari pabrik-pabrik karena pabrik-pabrik menghentikan ekspormya.

Usut punya usut, ada sebuah kesamaan dalam dua krisis ini, di tengah keterpurukannya bank-bank kapitalis dan Bursa Efek Indonesia, ternyata ada satu bank yang mampu bertahan tidak sedikitpun terpengaruh krisis ini.

Bank Syari’ah!

Sebuah bank berasas Islam yang tidak bergantung pada hegemoni Negara super state, melainkan bekerja di wilayah lokal dan benar-benar menggarap sektor riil bagi masyarakat.

Ini sebuah pertanda kecil dari sekian banyak pertanda, bahwa Neoliberalisme dan Kapitalisme AS tidak akan selamanya menguasai dunia. Akan tiba saatnya dimana Islam BANGKIT memegang kendali atas dunia.

Pertanyaannya, ada dimana kita saat itu, menjadi penonton atau kontributor kebangkitannya?

Saya pilih yang terakhir, makanya saya senantiasa berusaha menerapkan aturan islam dalam hidup saya, bukan sekadar ibadah solat dan puasa saja, melainkan memulai menerapkan nilai-nilai tersebut dalam seluruh hidup saya. Seperti nilai kejujuran, sikap dan akhlak, pergaulan, dan sebagainya. Saya tahu itu sulit, saya pun masih belajar, namun kita semua mau tak mau mesti memulainya.

Tapi sekali lagi, itu pilihan..

Tidak ada komentar: